Hitam adalah representasi dari ketidakhadiran sedikit pun warna atau cahaya di dalam sebuah ruang gelap. Dalam fotografi, biasanya hitam akan muncul sebab ketidakmampuan film atau sensor untuk menangkap cahaya akibat intensitas pembakaran terlalu rendah.
Hitam juga sering kali dikaitkan dengan duka, tetapi dalam hal ini, aku lebih suka menyandingkannya dengan seronok erotis lantaran kini hitam itu tengah bersanding mengiringi Baruna di busana yang lekat erat pada tubuhnya. Dia kenakan jaket kulit hitam guna tutupi kaus rajut putih pas badan yang menunjukkan siluet pinggang ramping, membuatku ingin hampiri dan peluk erat pinggang itu.
Si pengguna hitam itu berbincang dengan seorang anggota jurusannya—Jayendra—di selasar yang mengarah ke kantin. Keduanya tertawa dan diakhiri dengan gerakan tepukan di punggung Baruna yang diberikan oleh si pemilik panggilan Jayen itu. Keakraban itu membawaku pada sebuah tanya yang mungkin lebih baik kusimpan daripada memunculkan sebuah pertikaian tak berujung.
Untuk kali kesekian kuarahkan lensa kamera pada objek tujuan. Menangkap berpuluh-puluh gambar hingga akhirnya kurasakan sebuah tepukan di pundak.
"Inir."
Lekas kuturunkan kamera dan berbalik badan hanya untuk mendapati sosok Kak Saharsha yang menjunjung sebuah kertas dengan tangan kirinya. Tampak seperti sebuah moodboard untuk kegiatan Lensa hari ini yang pada akhirnya diundur hingga pukul lima nanti. Kedua tanganku siap menampung dan di saat bersamaan pula Kak Saharsha menyerahkannya.
"Hari ini Jani sama Kara," katanya. Kepalaku hanya angguk sekali untuk mengiyakan. "Kamu boleh bawa Baruna. Susah tanpa dia, 'kan?"
"Iya," Aku menjawab kalimatnya dengan singkat. "Oh, Kak Harsha. Aku izin mau pakai kamar gelap lagi."
"Boleh, nanti aku urus perizinannya. Nanti sore jam lima kita sudah mulai, ya. Kara suka rewel kalau ada yang terlambat."
Sekali lagi aku mengangguk, lalu kulihat tangan Kak Saharsha melambai ke belakangku bersama dengan hadirnya sosok yang merupakan lawan terkuat sang Aphrodite dalam interpretasiku. Baruna yang langsung menggamit lenganku itu tersenyum lembut.
"Aku pinjam Inir, ya, Kak Sha. Mau ngajak Inir makan. Dalam hitungan ketiga, perut Inir pasti bakal bunyi," ujarnya.
Tuturan itu dihadiahi tawa oleh Kak Saharsha karena memang benar bahwa perutku berbunyi tak lama setelahnya. "Baruna sudah hapal betul jam makan Inir, ya," puji Kak Saharsha.
"Tentu, soalnya sejak hari pertama aku selalu ada sama Inir."
Hanya satu senyum yang kuberikan sebagai reaksi atas aksi wicara Baruna. Langkah pertama yang aku ambil membuat Baruna turut ke arah aku membawanya. Sebelum bincangnya dengan Kak Saharsha semakin tak berarah, lebih baik kupaksa potong sampai di sana dengan dalih kalau si hipotalamus sudah mendapatkan rangsangan supaya perut diisi dengan segera.
Dalih itu memang hanya sekadar dalih. Maksud sesungguhnya adalah aku tidak ingin Baruna membagi senyumnya dengan orang lain lagi setelah melakukannya dengan si Jayen tadi. Sebenar-benarnya aku merasa benci dan panas hati sebab sejak hari pertama itu pula Baruna hanya aku yang memiliki.
ㅤㅤ
Belum sampai langkah kami menuju kantin, sekonyong-konyong langkahku berhenti hingga sedikit bertubrukan tubuh kami. Baruna menatap dengan sepasang manik mata yang tampak bingung, terlebih lagi kala kedua telapak tanganku bertangkup di kedua pipinya.
ㅤㅤㅤ
Tidak peduli akan siapa yang berlalu di selasar; entah itu mahasiswa lain ataupun pengajar. Kudaratkan satu kecup di permukaan bibirnya, membuat kedua matanya sejenak membola dikarenakan rasa terkejut yang menyerang. Namun, di detik selanjutnya, sudah dilingkarkan Baruna kedua lengannya di leherku, membagi balas berupa kecup yang sama.
ㅤㅤㅤ
Aku tergelak, pun Baruna. Satu kecup lagi sebelum kami kembali bergandeng dan menyusur selasar. Abai pada tatap dan bisik orang-orang yang mungkin tengah berbincang perihal dua manusia gila yang baru saja mempertontonkan keseronokan yang tidak senonoh.
ㅤㅤㅤ
Namun, siapa pula peduli? Aku? Jelas tidak. Peduliku hanya untuk Baruna, bukan orang-orang punya.
ㅤㅤㅤ