Sebenarnya, bagaimana konsep dari jatuh cinta itu bekerja? Yang Deva pelajari dari bundanya, cinta itu datang dari kebiasaan. Misal, Bunda yang dulu sama sekali tidak suka memasak, bahkan sama sekali tidak pernah menyentuh dapur semasa gadis itu kini jadi sangat suka memasak dan bisa menghidupi keluarga kecilnya dari sana. Atau, ketika dulu di jaman dahulu sebelum Ayah dan Bunda menikah, kerap kali Ayah datang menjemput Bunda sepulang bekerja untuk berkeliling Bandung bersama motor yang bunyi knalpotnya suka jadi bahan teriakan warga; berisik mengganggu telinga. Deva tidak tahu keabsahan cerita itu, tapi bukti nyatanya ada di belakang rumah sekarang ini. Motor dengan knalpot berisik itu teronggok tanpa daya, perlahan rusak besinya, berkarat dimakan jaman.
Cinta yang datang karena terbiasa itu sebenarnya juga terjadi pada dirinya sendiri yang bermula pada percobaannya menghias akuarium kecil peninggalan Ayah, dan berlanjut pada kecintaannya pada ikan-ikan kecil yang meramaikan suasana rumah tinggalnya dan Bunda. Namun, kali ini Deva sama sekali tidak paham; mengapa perasaan yang mirip dengan cinta itu timbul kala dirinya berdekatan dengan Arkailash? Bahkan pesan Arkailash yang mengatakan ingin bersandar pada dirinya itu tidak dia balas sebab terlalu bingung. Deva takut salah tingkah … atau memang sudah?
Ini adalah kali pertama Deva menginjakkan kaki keluar dari sekolah bukan pada waktunya. Belum lagi, kegiatannya ini didorong oleh ajakan Arkailash—yang sepertinya pun bercanda—untuk membolos. Mendadak Deva menjadi terlalu penurut. Sosok Arkailash belum ada dia kenal lebih dari dua puluh empat jam, tapi mengapa nyaman itu sudah menggelayutinya? Membuat Deva ingin lebih dekat, dan selalu dekat.
Sudah ada berapa kata ‘mengapa’ yang terlintas di benaknya hari itu, ya?
“Kayaknya kamu punya kebiasaan natap orang sampai dalem banget gitu, ya, Dev?”
Suara Arkailash membuyarkan pikiran, buat Deva sedikit tersontak dan bola matanya sempat bergetar sebab terkejut. Semua itu disusul oleh tawa lebar Arkailash, tunjukkan deretan giginya yang rapi serta putih bersih yang tak lama kemudian Arkailash tutupi dengan telapak tangan sembari dongakkan kepala. Cara tertawanya begitu khas. Sejak tadi, semuanya telah Deva rangkum dalam catatan di dalam kepala.
“Nggak …,” balas Deva, suaranya lirih. “Cuma tumben aja tiba-tiba rasanya hangat, padahal di luar lagi mendung.” Kalimat itu buat Arkailash lemparkan pandangan ke langit lalu kembali pada Deva yang tengah memainkan tusuk oden di tangannya. “Ternyata mataharinya ada di sini.”
Pelan dan malu-malu. Deva bisa rasakan panas yang menjalar perlahan dari dada, ke tenggorokan, kemudian menjelajahi pipi hingga ke telinga. Bisa jadi wajahnya merah menyala saat ini dan hanya bisa berharap Arkailash tidak mendengar.
“Sakaluna Deva Nismara,” panggil Arkailash sambil matanya menatap bet nama yang dibordir dengan benang hitam di seragam sekolah Deva. “Nama kamu cantik, boleh tahu artinya, nggak?”
Cantik yang disebut Arkailash makin membuat Deva gelagapan, tapi dengan perlahan dia sebutkan arti dari rangkaian kata yang dibuat oleh Bundanya menjadi sebuah nama, “Saka itu artinya penyangga, kalau Luna itu bulan ….” Sempat putus sebentar napasnya sebab ada pertemuan singkat antar dua pasang mata terjadi. Arkailash menatapnya, persis seperti apa yang dilakukannya di pertemuan pertama. “Deva itu dewa, Nismara itu katanya ketenangan.”
Namun, sekarang Deva tidak bisa tenang.
“Cantik.” Lagi. “Kenapa bisa ada nama yang cocok disandingkan sama manusianya? Sama-sama cantik.” Deva rasakan sentuhan ringan di ujung rambut dari jemari Arkailash yang merapikan helai rambutnya di sisi kanan. “Dan kamu cocok disandingkan sama bulan.”
“Kalau Arka sendiri, artinya apa …?”
Senyum Arkailash merekah lagi, tetapi yang ini berbeda dengan sebelumnya. Ada sendu yang bisa Deva temukan di sana walau tipis ditunjukkannya.
“Arka dan Kailash itu digabung jadi satu kata, Arkailash. Kalau masing-masing katanya sendiri artinya matahari dan gunung. Terus nama belakangku sendiri itu Prabasandya, artinya cahaya senja.” Arkailash tarik sebatang rokok dari dalam kotak, kemudian nyalakan pemantik untuk bakar ujungnya. Asap mulai membumbung, tapi bisa Deva dapati jika Arkailash mencoba untuk tidak membawa hasil pembakaran nikotin itu untuk mendekatinya. Diusir dengan kibasan perlahan telapak tangan. “Nenek yang kasih namanya, tapi kadang bukannya dipanggil pakai nama. Malah dipanggil yang lain.”
“Apa itu?”
“Matahariku. Mataharinya nenek.” Arkailash tiru cara neneknya memanggil, kemudian terkekeh. Pandangnya jauh, seolah pikirannya memang tak ditempatkan bersama di mana raga berada.
“Matahariku …,” Deva berbisik. Nadanya memanggil mengikuti persis seperti apa yang Arkailash lakukan sebelumnya. “Matahariku.”
Arkailash tolehkan kepala di panggilan kedua. Sudut-sudut bibirnya tunjukkan lengkung tipis seperti tengah berusaha untuk tahan senyumnya mengembang terlalu lebar. Tatap mereka bertemu, lagi. Namun, kali ini tak ada yang memutusnya. Keduanya larut dalam hening di tengah bising mesin kendaraan yang laju tanpa jemu di jalanan.
Sampai akhirnya, Deva menjadi yang pertama putuskan pandang. Tergesa ia bangkit dari kursi dan bergegas untuk pergi tinggalkan Arkailash yang masih tujukan sorot mata pada Deva hingga sosoknya tak lagi terjangkau pandangan. Telinga Deva masih gaungkan kata yang Arkailash sebut untuk balas bisikannya tadi. Kata yang entah mengapa buat jantungnya bertalu tak menentu.
“Ya, bulanku?”